Pages

Sunday, October 1, 2017

Makalah Pemikiran Politik Menurut Ibnu Taimiyah

PEMIKIRAN POLITIK MENURUT IBNU TAIMIYAH
Disampaikan dalam presentasi mata
kuliah Pemikiran Politik Islam





Disusun oleh:
Kelompok 1
Puntadewa Journalis N (201610360311010)
Muhammad Assegaf (201610360311046)
Maisaroh (201610360311074)
Hadi Nugraha (201610360311126)
Halija Syuchah (201610360311167)

Dosen pembimbing:
Dion Maulana, M.Hub.Int

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG

Abstrak
Ibnu Taimiyah merupakan seorang teolog terkemuka abad ke-13 dan ke-14, atau abad 7H. Ia juga dikenal dengan sebutan “Muhajjis Sunnah” dan juga merupakan seorang guru besar hukum Hambali. Sistem pemikiran Ibnu Taimiyah adalah aliran salaf yang merupakan aliran bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits sebagai pangkal dari segala persoalan di masyaraka. Ia percaya bahwa akal hanyalah pembatu dari Al-Quran dan Sunnah, dan akal bukanlah cara yang dapat diandalkan untuk mencapai kebenaran yang religius serta intelek harus tunduk pada kebenaran yang di wahyukan. Ibnu Taimiyah juga memusushi eksponen Muslim yang berfilosof Yunani, karena filosof ini dapat memecah belah umat Islam. ibnu taimiyah juga mengemukakan bahwa politisi yang melanggar hukum,  maka poitisi tersebut tidak lagi memiliki sandaran keilmuan yang memadai dan tidak berakal. Dalam berpolitik menurut Ibnu Taimiyah negara yang ideal adalah melaksanakan prinsip-prinsip atau nilai-nilai politik yang baik yaitu akuntibel, keadilan, persaudaraan, menghargai kemajemukan atau pluralism, persamaan, permusyawaratan, mendahulukan perdamaian, dan control, serta menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama dalam pandangan hidup.



BAB I
Latar Belakang
Jika membahas tentang politik, maka tidak lepas dari pemimpin dan negara serta kekhalifahan dalam Islam. Membahas tentang pemikiran politik Islam maka tokoh seorang syiriah yaitu Ibnu Taimiyah tidak terlepas dari dalamnya yang merupakan teolog terkemuka pada zamannya atau pada abad ke-13 dab abad ke-14 yang merupakan seorang teolog beraliran salaf. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh penganut imam Hanbali, ia merupakan seseorang yang dikenal dengan berani dan memiliki kritikan yang tajam dan tegas. Dengan sifatnya yang berani dan tegas serta tajam dalam mengkritik ia sering mendapat dari para ulama dan mazhab lain. Ibnu Taimiyah pun dalam berbagai karyanya memberikan teori-teori politik Islam baik secara praktis maupun secara filosofis.
Rumusan Masalah
1.      Siapakah Ibnu Taimiyah?
2.      Bagaimana kepemimpinan menurut pandangan ibnu taimiyah?
3.      Bagaimana pemikiran Ibnu Taimiyah tentang instituisi negara?
Maksud dan Tujuan
o   Untuk memenuhi tugas Pemikiran Politik Islam
o   Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Ibnu Taimiyah tentang instituisi negara
o   Untuk mengetahuin pandangan Ibnu Taimiyah tentang kepemimpinan



BAB II
Pembahasan
1.      Pengenalan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang lahir dengan nama Taqiuddin Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah atau Taqiuddin Ibnu Taimiyaš[1] yang lahir di Harran pada 1263 M (661 H) disebuah kota Iraq. Pada usia 7 tahun ia diajak ayahnya untuk mengungsi karena pada saat itu dunia timur sedang diserang oleh suku mongol, mereka pun mengungsi ke Damaskus yang isi dari kota tersebut banyak ulama-ulama ternama. Ia belajar dibantu oleh ayahnya sendiri yang merupakan seorang ilmuan utama yang beraliran hambali. Kemudian ia belajar pada ulama Damaskus dan mengambil manfaatnya dari ajarannya yaitu Zain Al Din Al Muqoddasi.[2]
Ibnu Taimiyah memiliki cara berpikir yang bebas dan tajam dalam mengeluarkan pendapat, oleh karena itu sering menimbulkan kemarahan besar para pemuka sultan atau para pemuka agama, sehingga penjara sudah menjadi tempat pengasingan dalam hidupnya. Ia berkali-kali ditahan dalam penjara baik di penjara Mesir maupun di penjara Damaskus. Ibnu Taimiyah tetap teguh dalam menegakkan kebenaran dan memberantas faham yang sesat, maka sangatlah wajar ia keluar masuk penjara karena mempertahankan keyakinan akidahnya dan pada akhirnya ia wafat pada 1327 M di penjara Damaskus.
Selama hidupnya karangan-karangannya sudah mencapai 300 buah, salah satu diantaranya Muwafaqotul Sorihul Ma’qul Li Sholihil Mauqul, Al Jawabus Shohih Biman Baddala Dinul Masih, Ar Rasail Wal Masail. Karangan-karangannya banyak berisi tentang fiqih, tafsir, jawaban pertanyaan dari fatwa-fatwa, serta serangan-serangan dalam aliran Islam yaitu tasawuf, filsafat, dan sebagainya.[3]
2.      Keberadaan Negara menurut Ibnu Taimiyah
Dalam karyanya, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, beliau memaparkan asal usul negara, negara kenabian, dan khilafah kenabian, sebagai kelanjutan telaahnya setelah masalah-masalah teologis dari kalangan mazahib Islamiyah, seperti Muktazilah dan Qadariyah, Syiah, Mujassimah, Jahmiyah, dan Murjiah. Kemudian setelah menampilkan istilah-istilah itu beliau mengawali telaahnya tentang pemerintahan, seperti al-imamah, alnash (al-waisyyah), al-khilafah, al-syaukah, al-qudrah, al-malik dan alsulthan.[4]
Instusi negara menurut pandangan ibnu taimiyah
Ibnu taimiyah berpendapat bahwa manusia itu berwatak madaniy (suka membangun)  dan manusia juga saling bergantung pada manusia lainnya,  itu sebabnya jika mereka berkumpul,  maka mereka akan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kepentingan mereka dan mengatasi persoalan bersama.
Hakikat pemerintahan menurut ibnu taimiyah adalah kekuasaan memaksa,  yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas.
·         Perekonomian Negara yang berdasarkan syariat islam
Ibnu taimiyah juga berpendapat bahwa dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan,  lembaga yang dimaksud oleh ibnu taimiyah adalah Hisbah atau ciri khas pemerintahan islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar,  dalam hisbah lebih menekankan “apa yang baik dan apa yang buruk “ atau amar ma’ruf nahi munkar.

·         Hukum
Ibnu taimiyah berpendapat bahwa keadilan yang merata dalam masyarakat dan keadilan yang teringritas dalam pemerintahan, menurut ibnu taimiyah penerintahan adalah syarat yang mutlak dan mendasar dalam kehidupan masyarakat untuk menegakkan keadilan , ibnu taimiyah bertujuan membangun pemerintahan yang berdasarkan syariat islam  dan ibnu taimiyah mengusulkan bahwa negara perlu dua inti pemikiran yakni , keadilan dan mencegah keburukan. [5]
Ibnu Taimiyah pun lebih sepaham dengan teori politik Sunni dalam hal otoritas politik atau imamah yang berpandangan, sebagaimana dikutip Khan (48-50) dari al-Ijji berikut ini : “Imamah bukanlah salah satu asas dan praktek agama, seperti diyakini oleh orang-orang Syiah. Itu hanyalah masalah furuiyah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang yang beriman untuk memelihara agama dan dunia. Imamah wakil nabi dalam menegakkan agama”. Menurut Ibn Taimiyah (1995:156), “Memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi dalam agama, bahkan kepemimpinan diperlukan untuk merealisasikan penegakan agama”. Beliau mendasarkan pendapatnya pada berbagai ayat al-Qur’an dan Hadits.[6]
Walaupun demikian, sebagaimana diisyaratkan beliau dalam karyanya Siyasah Syar’iyah, mensyaratkan pemimpin sebagai berikut :
1.      Sesuai dengan surat al-Nisa 58-59 pemimpin itu harus diangkat yang paling baik (ashlah).
2.      Memilih yang terbaik kemudian yang dibawahnya.
3.      Negara harus didasarkan atas hukum dan moral atau syariat dan etik, yaitu pemimpin harus berlaku adil, bermusyawarah, dan amanah serta berakhlak mulia.
4.      Perlu ada kerjasama antara umara dan ulama dalam mewujudkan kemaslahatan. Dengan karyanya al-Minahaj dan al-Siyasah ini, beliau mencoba menyusun teori politik yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[7]
3.      Pandangan Ibnu Taimiyah tentang kepemimpinan
Menurut Ibn Taimiyah, mendirikan negara atau menegakkan suatu kekuasaan merupakan sebuah kewajiban, yang dimaksudkan sebagai upaya merealisasikan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syariat Islam, karena kesejahteraan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya masyarakat oleh karena itu mutlak membutuhkan pemimpin.[8] Islam dengan aturan syari’ahnya jelas menginstruksikan penegakan amar ma’ruf nahi munkar, jihad, penegakan keadilan, bermasyarakat secara teratur, menolong orang yang dianiaya, melaksanakan hukum had, yang kesemuanya ini hanya akan terwujud bila ada pemimpin atau penguasa. Ia menegaskan, mengatur masyarakat merupakan bentuk inprasi (kewajiban) agama, dan agama tidak akan tegak terkecuali harus ada pemimpin.[9]
Lebih dari itu, bagi Ibnu Taimiyah, doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya. Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah.[10]
di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Dasar pandangan ini dikatakan berasal dari Rasulullah sendiri yang bersabda bahwa 70 tahun kehidupan sosial di bawah kekuasaan refresif masih lebih baik dari hidup sosial tanpa ada kepemimpinan atau (lebih baik) dari anarkhi.[11] Dari sumber lain ada pula pernyataan: “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan”,[12] adalah berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syar‘iyyah.



BAB III
Kesimpulan
            Dalam memaparkan teori-teori politiknya Ibnu Taimiyah tidak pernah lepas dari pegangannya yaitu Al-Quran dan Hadits dalam segala aspek kehidupan dan politik. Cita-cita Ibnu Taimiyah adalah negara yang sesuai dengan syari’at islam serta dalam menjalankan perpolitikannya juga. Menurut Ibnu Taimiyah, mendirikan negara merupakan kewajiban agama, agar agama tersebut semakin kuat dengan adanya instituisi negara.

Daftar Pustaka
Abu Tholib Khalik. 2014. Pemimpin Non Muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, Lampung: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14 No.1
AN, Firdaus (penterjemah). 1996. Ibnu Taimiyah-Pedoman Islam Bernegara. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibn Taimiyah, 1321 H. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqdhi Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyah. Mesir. Bulaq.
Ibnu Taimiyah, 2004. Tugas Negara Menurut Islam.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Khan, Qamaruddin, 1983. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah. Bandung.
Masrohin (penterjemah). 1995. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
M. Abdurahman. 2003.  Pemikiran Politik Ibn Taimiyah. Jurnal Vol XIX No.2.



[1] Fazlur Rahman, Islam, Jakarta, Bina Aksara, Cetakan I tahun 1987, hal 175
[2] Jamil Ahmad, Op-Cit, Hal 102
[3] A. Hanafi MA, Op-Cit, Hal 139
[4] M. Abdurahman, April-Juni 2003, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Jurnal Vol XIX No.2, hal 156
[5] Ibnu Taimiyah, 2004.“Tugas Negara Menurut Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[6] Ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip beliau sebagaimana tercantum dalam al-Siyasah ialah al-Haqqah: 28-29, al-Ghafir:21, al-Qashash:4 dan 83, Ali Imran:139, Muhammad:35, al-Munafiqun:8, al-Anam:35, al-Zukhruf:32. Hadits antara lain berbunyi, “Bila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka menjadikan salah satunya sebagai pemimpin” (HR. Abu Dawud). Imam Ahmad meriwayatkan dengan lafal lain. Hadits riwayat Ibn Majah, al-Timidzi dalam hal ini menjadi rujukannya. Lihat Ibn Taimiyah, op cit., 156-160.
[7] M. Abdurahman, April-Juni 2003, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Jurnal Vol XIX No.2, hal 156-157
[8] Ibn Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah} ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyyah (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah.tt), h. 137-137. Lihat juga Qomaruddin Khan, Pemikiran Politik, h. 305.
[9] Ibn Taimiyah, as-Siyasah, h. 137 –138.
[10] Abu Tholib Khalik, Juni 2014, Pemimpin Non Muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, Jurnal: Studi Keislaman, Vol. 14 No.1, Hal 78-79
[11] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, terj. Firdaus AN (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 229-241.
[12] Masrohin dalam “Pengantar Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. vii.

0 comments: